Minggu, 27 Maret 2016

Filosofi Nasi Tumpeng


Nasi tumpeng, atau yang banyak dikenal sebagai ‘tumpeng’ merupakan salah satu warisan kebudayaan yang sampai saat ini masih dipercaya untuk dihadirkan dalam perayaan baik yang sifatnya simbolis maupun ritual. Tumpeng sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya ketika memperingati momen dan peristiwa penting. 
Tumpeng adalah cara penyajian nasi beserta lauk-pauknya dalam bentuk kerucut; karena itu disebut pula ‘nasi tumpeng’. Olahan nasi yang dipakai umumnya berupa nasi kuning, meskipun kerap juga digunakan nasi putih biasa atau nasi uduk.

Cara penyajian nasi ini khas Jawa atau masyarakat Betawi keturunan Jawa dan biasanya dibuat pada saat kenduri atau perayaan suatu kejadian penting. Meskipun demikian, masyarakat Indonesia mengenal kegiatan ini secara umum.Tumpeng biasa disajikan di atas tampah (wadah bundar tradisional dari anyaman bambu) dan di daun pisang batu.

Falsafah tumpeng berkait erat dengan kondisi geografis Indonesia, terutama pulau Jawa, yang dipenuhi jajaran gunung berapi. Tumpeng berasal dari tradisi purba masyarakat Indonesia yang memuliakan gunung sebagai tempat bersemayam para hyang, atau arwah leluhur (nenek moyang). 
Meskipun tradisi tumpeng telah ada jauh sebelum masuknya Islam ke pulau Jawa, tradisi tumpeng pada perkembangannya diadopsi dan dikaitkan dengan filosofi Islam Jawa, dan dianggap sebagai pesan leluhur mengenai permohonan kepada Yang Maha Kuasa. 

Dalam tradisi kenduri Slametan pada masyarakat Islam tradisional Jawa, tumpeng disajikan dengan sebelumnya digelar pengajian Al Quran. Menurut tradisi Islam Jawa, “Tumpeng” merupakan akronim dalam bahasa Jawa: yen metu kudu sing mempeng (bila keluar harus dengan sungguh-sungguh). 
Lengkapnya, ada satu unit makanan lagi namanya “Buceng”, dibuat dari ketan; akronim dari: yen mlebu kudu sing kenceng (bila masuk harus dengan sungguh-sungguh)
Sedangkan lauk-pauknya tumpeng, berjumlah 7 macam, angka 7 bahasa Jawa pitu, maksudnya Pitulungan (pertolongan). 
Tiga kalimat akronim itu, berasal dari sebuah doa dalam surah al Isra’ ayat 80:
“Ya Tuhan, masukanlah aku dengan sebenar-benarnya masuk dan keluarkanlah aku dengan sebenar-benarnya keluar serta jadikanlah dari-Mu kekuasaan bagiku yang memberikan pertolongan”.

Kembali ke masalah nasi tumpeng, dari bentuknya sudah tampak menyerupai gunung. Nasi tumpeng atau Tumpengan hanya ada dalam perayaan-perayaan tertentu, perayaan yang dianggap suci tentu memerlukan simbol-simbol suci yang dapat mewakili makna dari apa yang tengah dirayakan.
Selain dari bentuk, kita juga bisa menginterpretasikan makna dibalik warna nasi tumpeng. Ada dua warna dominan nasi tumpeng yaitu putih dan kuning.
Warna putih di banyak agama melambangkan kesucian. Warna kuning melambangkan rezeki, kelimpahan, kemakmuran. Melihat hubungan antara makna dibalik bentuk tumpeng dan warna nasi tumpeng, keseluruhan makna dari tumpeng ini adalah pengakuan akan adanya kuasa yang lebih besar dari manusia (Tuhan), yang menguasai alam dan aspek kehidupan manusia, yang menentukan awal dan akhir, Wujud nyata dari pengakuan ini adalah sikap penyembahan terhadap Sang Kuasa dimana rasa syukur, pengharapan dan doa dilayangkan kepadaNya supaya hidup semakin baik, menanjak naik dan tinggi seperti halnya bentuk kemuncak tumpeng itu sendiri.

Jadi tumpeng mengandung makna religius yang dalam sehingga kehadirannya menjadi sakral dalam upacara-upacara syukuran atau selamatan. Dalam kenduri, syukuran, atau slametan, setelah pembacaan doa, tradisi tak tertulis menganjurkan pucuk tumpeng dipotong dan diberikan kepada orang yang paling penting, paling terhormat, paling dimuliakan, atau yang paling dituakan di antara orang-orang yang hadir.

Ini dimaksudkan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang tersebut. Kemudian semua orang yang hadir diundang untuk bersama-sama menikmati tumpeng tersebut. Dengan tumpeng masyarakat menunjukkan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan sekaligus merayakan kebersamaan dan kerukunan

0 komentar:

Posting Komentar